GURU HONORER DIPERAS! Kebijakan MBG Kedondong Paksa Pendidik Bayar Paksaan Rp 80 Ribu per Rantang Hilang

Pesawaran, Lampung – Program Makanan Bergizi (MBG) yang seharusnya menjadi wujud kepedulian terhadap gizi anak justru berbalik menjadi momok menakutkan bagi para guru honorer di Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran. Para guru, yang bertugas tanpa dibayar (sukarela), justru mendapat ancaman harus menanggung ganti rugi alat makan yang hilang dengan harga yang tidak masuk akal.

 

Insiden nyaris terjadi pada seorang guru honorer di sebuah Sekolah Dasar (SD) di wilayah tersebut. Setelah membagikan makanan dan mengumpulkan kembali rantangnya, terjadi selisih hitungan sebanyak 5 buah. Petugas pengantar MBG langsung menekan dengan menyatakan, “Kalau hilang harus ganti Rp 400 ribu, 1 tempat makanan itu harganya Rp 80 ribu.”

 

Guru yang namanya diminta untuk dirahasiakan ini pun mengalami ketakutan hebat. Dengan pendapatan yang sangat terbatas, uang sebesar itu jelas merupakan jumlah yang sangat besar dan memberatkan. Beruntung, setelah menghitung ulang, jumlah rantang ternyata lengkap sehingga guru honorer itu terbebas dari kewajiban membayar.

 

Namun, kejadian ini membuka mata betapa rapuhnya dan tidak manusiawinya sistem yang diterapkan. Beberapa poin kritik yang sangat menyayat adalah:

 

1. Eksploitasi Tenaga Guru: Para guru, yang sudah berjibaku dengan tugas mengajar dan administrasi dengan honor minim, kembali dibebani tugas tambahan sebagai logistik dan kasir program MBG tanpa imbalan sepeser pun. Ini adalah bentuk eksploitasi terselubung atas nama “tugas negara”.

2. Sistem yang Menghukum, Bukan Melindungi: Alih-alih memberikan apresiasi, para guru justru diancam dengan sanksi finansial yang sangat tidak proporsional. Harga sebuah rantang makanan ditaksir seharga Rp 80.000, sebuah angka yang dipertanyakan keabsahan dan dasar penentuannya. Sistem ini seolah menjadikan guru sebagai pihak yang wajib menanggung risiko kegagalan logistik program.

3. Tidak Ada Payung Hukum yang Jelas: Memaksakan ganti rugi kepada tenaga sukarela tanpa perjanjian tertulis yang jelas adalah bentuk pemalakan struktural. Di mana landasan hukum yang mewajibkan guru honorer, yang statusnya pun tidak jelas, menanggung kerugian material suatu program?

4. Mentalitas Pengancam, Bukan Pendidik: Perilaku petugas pengantar yang dengan mudahnya mengeluarkan ancaman mengganti menunjukkan mentalitas yang salah. Program yang seharusnya bernuansa edukasi dan kepedulian justru dijalankan dengan pendekatan intimidasi dan ketakutan.

 

Kejadian di Kedondong ini harus menjadi cambuk bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Pesawaran dan Dinas Pendidikan setempat. Program MBG jangan sampai dinodai oleh praktik-praktik yang tidak bermartabat dan menjadikan guru—pahlawan tanpa tanda jasa—sebagai tumbal.

 

Sudah saatnya evaluasi total dilakukan. Mulai dari mekanisme pertanggungjawaban barang, pelatihan bagi petugas, hingga yang terpenting: memberikan apresiasi dan perlindungan yang layak kepada para guru yang telah mengabdi, bukan malah membebani mereka dengan ancaman yang tidak masuk akal.

 

Jangan biarkan program mulia berujung pada luka dan ketakutan bagi para pengabdi pendidikan di garis terdepan. (Mr.u)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *