Harianmetropolis.com Parigi Moutong, Sulawesi Tengah – Penertiban tambang emas tanpa izin (PETI) di Gunung Talenga, Desa Tirtanagaya, Kecamatan Bolano Lambunu, Kabupaten Parigi Moutong, menjadi sorotan publik. Aparat Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah didiuga telah mengamankan tiga unit ekskavator yang digunakan untuk aktivitas tambang ilegal tersebut. Namun, hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari pihak berwenang terkait penertiban tersebut.
Informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa ekskavator tersebut diduga milik dua pengusaha berinisial S dan D, yang diketahui berasal dari Provinsi Gorontalo. Keduanya diduga kuat terlibat dalam aktivitas tambang ilegal di kawasan tersebut. Penertiban ini dilakukan sebagai langkah tegas Polda Sulawesi Tengah dalam menangani maraknya PETI yang merusak lingkungan dan melanggar hukum.
Meski demikian, wartawan yang mencoba mengonfirmasi kasus ini kepada Kapolsek Bolano Lambunu IPTU Nyoman Jayus Mulyawan, S.K.M. belum mendapatkan tanggapan. Pesan yang dikirim melalui aplikasi WhatsApp (Jumat 21/12/24) hingga kini belum direspons. Hal serupa juga terjadi saat Kabag Humas Polda Sulawesi Tengah Kombes Pol Djoko Wienartono, S.I.K., S.H., M.H. dimintai keterangan. Ia hanya menyatakan bahwa pihaknya masih melakukan konfirmasi terkait kasus tersebut.
Ketiadaan informasi resmi ini menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat, terutama warga sekitar, yang selama ini merasa dirugikan oleh aktivitas tambang ilegal. “Kami mendukung langkah aparat untuk menertibkan tambang ilegal, tapi kami ingin tahu bagaimana kelanjutannya. Jangan sampai ini hanya berhenti di penertiban alat berat saja,” ujar salah satu warga setempat yang enggan disebutkan namanya.
Dampak dari aktivitas tambang ilegal di Bolano lambunu tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memicu konflik sosial di tengah masyarakat. Beberapa warga mengeluhkan pencemaran air dan kerusakan lahan pertanian akibat limbah tambang. Selain itu, aktivitas ini melanggar prinsip keberlanjutan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penertiban ini diharapkan menjadi langkah awal yang konkret untuk menindak para pelaku tambang ilegal hingga ke akar-akarnya. Namun, tanpa adanya penjelasan resmi dan transparansi dari aparat penegak hukum, kasus ini berpotensi menimbulkan spekulasi dan ketidakpercayaan publik. Transparansi sangat penting untuk memastikan bahwa proses penegakan hukum tidak hanya terhenti pada penertiban alat berat, tetapi juga mengarah pada penyelesaian kasus secara menyeluruh, termasuk menjatuhkan sanksi sesuai regulasi.
Kritikan pun terhadap kasus ini. Sebagai penegak hukum, aparat memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang jelas dan transparan kepada publik. Hal ini sesuai dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Selain itu, penanganan tambang ilegal juga harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menyebutkan bahwa kegiatan tambang tanpa izin merupakan pelanggaran serius dan dapat dikenakan sanksi pidana. Regulasi ini menggarisbawahi pentingnya pengawasan dan tindakan tegas terhadap semua pihak yang terlibat dalam kegiatan tambang ilegal.
Hingga berita ini diturunkan, wartawan masih berupaya mendapatkan keterangan lebih lanjut dari pihak terkait. Publik menantikan kejelasan mengenai status hukum dari S dan D serta langkah-langkah lanjutan yang akan diambil oleh Polda Sulawesi Tengah dalam kasus ini.