Wahyu Gautama : Gedung Ambruk, Harga Diri Kita Juga Runtuh

Pesawaran – Jumat siang itu, saya menyaksikan rekaman berdurasi 11 detik yang menyebar cepat di grup-grup WhatsApp. Bagian depan Gedung DPRD Pesawaran ambruk—runtuh tanpa aba-aba. Tembok berlambang siger hancur lebur, menyisakan kerangka bangunan yang telanjang. Satu petugas Satpol PP terluka.

 

Sebagian orang mungkin menganggap ini sebagai insiden biasa, mungkin kesalahan teknis. Tapi bagi saya, ini bukan sekadar puing bangunan. Ini adalah simbol kebobrokan manajemen dan tata kelola di rumah besar rakyat sendiri.

 

Gedung DPRD bukan sekadar kantor. Ia simbol kepercayaan publik, tempat di mana keputusan strategis daerah dilahirkan. Namun ironis, gedung yang menjadi pusat legislasi dan pengawasan justru tumbang oleh kelalaian pengawasan itu sendiri.

 

Saya ingin katakan dengan terang: ini bukan hanya kegagalan struktur, tapi kegagalan kolektif kita semua. Gagal dalam mengawasi, gagal dalam memprioritaskan. Di tengah kondisi jalan rusak, sekolah reyot, dan pelayanan publik yang masih jauh dari layak, kita menyaksikan gedung mewah yang roboh. Prioritas kita sudah kabur.

 

Sebagai pemuda yang lahir dan besar di Pesawaran, saya malu. Tapi lebih dari itu, saya marah. Marah karena simbol kehormatan wakil rakyat kita ternyata dibangun di atas fondasi yang rapuh—baik secara fisik maupun etika.

 

Saya membayangkan, andai saya duduk di kursi dewan hari ini, saya akan berkata: “Kami tidak butuh gedung megah. Kami lebih nyaman duduk di rumah rakyat, mendengar keluh kesah mereka.” Tapi, hari ini kita bahkan tidak bisa duduk tenang di gedung itu, karena sebagian telah ambruk.

 

Gedung itu runtuh bukan karena gempa, tapi karena kita terlalu sibuk melihat jauh ke luar, hingga lupa mengecek kondisi di dalam. Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak jelas.

 

Ini saatnya kita berkaca. Bukan untuk mencari kambing hitam, tapi untuk membenahi tatanan. Kita perlu DPRD yang kuat bukan karena gedungnya megah, tapi karena pengawasan dan integritasnya kokoh.

 

Pesawaran tak boleh hanya menjadi panggung seremoni. Ia harus menjadi rumah bersama yang diawasi, dirawat, dan dijaga dengan hati nurani,

 

Saat nya pesawaran berbenah dan berubah dari sisi eksekutif dan legislatif. “Menuju pesawaran yang maju dan makmur”.

 

Repost.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *