Menakar Kewajaran Gaji Ketua RT di Pesawaran: Antara Pengabdian Tulus dan Keseimbangan Anggaran Desa

Oleh: Warga Pesawaran yang sedang belajar menulis dan berhitung (isi tulisan 15% otak 85% Menggunakan kecanggihan AI)

Saya memulai tulisan ini bukan dengan niat menggurui—karena jujur saja, saya sendiri masih sering salah hitung saat beli cabai di pasar. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini saya kepikiran satu hal: bagaimana sebenarnya sebuah desa mengatur uangnya? Bagaimana setiap rupiah yang datang dari Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) bisa berjalan seirama dengan nurani dan keadilan?

 

Perenungan ini muncul ketika saya mendengar kabar tentang penetapan insentif Ketua RT di Pesawaran yang kini ditetapkan sebesar Rp 1 juta per bulan. Katanya, 25 persen dari ADD dan 75 persen dari DD.

Kalau dibaca sekilas, rasanya pantas-pantas saja. Ketua RT itu kan ujung tombak warga — dari urusan lampu jalan sampai urusan surat pindah, semua lewat beliau. Kadang bahkan urusan jodoh pun numpang curhat ke RT (meski tak ada dalam tupoksi).

 

Jadi kalau dihargai Rp 1 juta per bulan, kelihatannya wajar. Tapi setelah saya coba “berhitung” ala warga biasa—pakai kalkulator di HP yang layarnya retak—kok rasanya ada sesuatu yang perlu ditimbang lagi.

 

Niat Baik yang Perlu Diimbangi Kewajaran Anggaran

 

Saya percaya niat pemerintah daerah itu baik. Memberikan insentif yang layak kepada Ketua RT adalah bentuk penghargaan. Tapi persoalannya, tidak semua desa di Pesawaran punya kantong yang sama tebalnya.

 

Coba bayangkan, satu desa punya 12 RT. Kalau masing-masing Rp 1 juta per bulan, berarti Rp 144 juta setahun hanya untuk insentif. Itu belum honor perangkat, BPD, operasional kantor, dan segunung kegiatan lainnya. Akhirnya, bisa-bisa jalan rabat beton tertunda karena “anggaran terserap di meja rapat.”

 

Saya tidak menolak RT diberi insentif. Tapi saya juga khawatir, kalau semua kebijakan disamaratakan, nanti yang makmur tertawa, yang pas-pasan bisa megap-megap.

 

Keadilan Bukan Soal Sama Rata

 

Bagi saya, keadilan sejati bukan berarti sama rata, tapi sesuai kemampuan.

Kalau desa A mampu kasih Rp 1 juta, silakan. Tapi kalau desa B cuma sanggup Rp 700 ribu, jangan dipaksa. Biar saja seperti nasi uduk: porsinya boleh beda, tapi tetap bikin kenyang kalau dimakan dengan syukur.

 

Dalam aturan sebenarnya sudah disebut, insentif “disesuaikan dengan kemampuan keuangan desa.” Tapi entah kenapa, kata “menyesuaikan” itu sering kalah oleh rasa gengsi. Kadang kalau desa sebelah kasih Rp 1 juta, desa sendiri ikut-ikutan. Padahal kemampuan keuangan belum tentu sama.

Jadi, jangan sampai niat baik berubah jadi beban yang bikin pusing bendahara desa dan membuat pembangunan terhambat hanya demi menjaga gengsi angka.

 

 

Antara Pengabdian dan Angka

 

Saya sangat menghargai para Ketua RT. Mereka ini manusia multi-talenta: bisa jadi notulen, mediator, kadang juga satpam, kadang motivator, dan kalau ada hajatan, otomatis panitia kehormatan. Mereka memang pantas diberi penghargaan.

 

Tapi saya yakin, pengabdian mereka tak diukur dari angka nominal. Orang-orang yang betul-betul melayani, biasanya bekerja dengan hati. Mereka senang kalau lingkungannya tertib, bukan hanya kalau dompetnya tebal. (Walau kalau tebal sedikit, ya tentu tidak menolak juga, namanya juga manusia 😄).

 

Solusi: Agar Semua Pihak Tidak Sama-Sama Berat

 

Dalam pandangan sederhana saya, masalah ini tidak harus jadi tarik ulur kepentingan. Ada beberapa jalan tengah yang bisa ditempuh:

 

1. Fleksibilitas Berdasarkan Kemampuan

(Jangan diseragamkan. Biarkan setiap desa menentukan sesuai kemampuan. Transparansi dan musyawarah desa bisa jadi kunci agar semua pihak tahu kenapa jumlahnya sekian, bukan sekadar ikut-ikutan.)

2. Kenaikan Bertahap

Bagi desa yang belum mampu, kenaikan bisa dilakukan bertahap. Seperti menaikkan gas kompor: pelan-pelan saja, asal tidak bikin gosong.

3. Apresiasi Non-Tunai

Selain uang, apresiasi bisa berupa dukungan lain: pakaian dinas, kuota internet, atau biaya operasional ringan. Kadang hal kecil seperti itu lebih terasa manfaatnya.

4. Transparansi dan Evaluasi Tahunan

Pemerintah desa sebaiknya terbuka soal ini. Kalau warga tahu bagaimana uangnya dialokasikan, mereka cenderung lebih menerima. Karena kecurigaan biasanya tumbuh dari ketidaktahuan.

 

Menutup dengan Rasa Syukur dan Keseimbangan

 

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun, tapi untuk mengajak berpikir bersama. Saya sadar, tidak mudah mengatur keuangan desa yang kebutuhan dan harapannya terus bertambah. Tapi saya juga percaya, kebijakan yang baik lahir dari keseimbangan antara logika dan nurani.

 

Angka Rp 1 juta mungkin tampak ideal, tapi kebijakan tanpa konteks bisa menimbulkan dampak tak terduga. Bukan besar kecilnya angka yang jadi ukuran, melainkan sejauh mana kebijakan itu bisa menjaga harmoni antara pengabdian dan kemampuan.

 

Karena di desa, semangat gotong royong lebih mahal dari segala insentif.

Dan kalau saya boleh jujur, kadang yang paling dibutuhkan RT bukan tambahan honor, tapi tambahan senyum dari warganya yang paham bahwa beliau juga manusia—yang kadang capek, kadang lupa, tapi tetap berusaha hadir untuk lingkungannya.

 

Maka biarlah kita terus belajar: belajar berhitung dengan jujur, belajar memahami dengan hati, dan belajar tertawa di tengah rumitnya urusan administrasi desa.

Karena kalau hidup di desa dijalani terlalu serius, bisa-bisa kita lupa bahwa tujuan akhirnya bukan sekadar menulis laporan keuangan, tapi membangun kebahagiaan bersama.

 

 

Kedondong Pesawaran 22/10/2025.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *