Harianmetropolis.com
Kabupaten Samosir
Kasus Pemberhentian dengan kategori berat dr. Bilmar Delano Sidabutar, mantan Kepala Puskesmas Harian Kabupaten Samosir, telah memasuki babak baru. Setelah melalui proses panjang, mulai dari pemeriksaan tim penegak disiplin, keluarnya SK Bupati Nomor 233/2024, hingga banding administratif ke Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN), kini posisi hukum kasus ini semakin jelas. PTUN—yang menjadi arena utama sengketa tata usaha negara—ikut mempertebal narasi bahwa pemecatan dr. Bilmar sah secara formal. Namun di balik keputusan yang inkrah itu, muncul pertanyaan: apakah seluruh proses benar-benar berlandaskan asas keadilan, atau hanya sekadar legalitas di atas kertas?
SK 233/2024 dan Rantai Administrasi
Pemecatan dr. Bilmar Delano Sidabutar bermula dari tuduhan pelanggaran berat disiplin ASN. Bupati Samosir, Vandiko Timotius Gultom, menerbitkan SK Nomor 233/2024 tentang Pemberhentian dengan Hormat Tidak Atas Permintaan Sendiri terhadap dr. Bilmar. Dasarnya: laporan Inspektorat mengenai hilangnya aset Puskesmas, gagalnya akreditasi 2023, provokasi di grup WhatsApp, hingga dugaan penyewaan rumah dinas.
SK ini dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kanreg VI Medan, yang mengeluarkan rekomendasi agar dr. Bilmar dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat. Kemudian, saat banding administratif diajukan, BPASN menguatkan keputusan Bupati. Dari sisi formil, rangkaian prosedur administratif terlihat lengkap.
Putusan PTUN: Menguatkan SK
Tidak berhenti di BPASN, dr. Bilmar membawa kasus ini ke ranah hukum dengan mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Harapannya jelas: membatalkan SK Bupati yang dianggap cacat hukum. Namun, alih-alih berpihak pada penggugat, majelis hakim PTUN justru menolak gugatan tersebut.
Dalam pertimbangannya, PTUN menegaskan bahwa SK Bupati 233/2024 sudah sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan. Hakim menilai, rekomendasi BKN dan penguatan BPASN menjadi legitimasi yang cukup kuat bahwa keputusan bupati tidak menyimpang dari prosedur hukum. Dengan demikian, secara hukum tata usaha negara, posisi Pemkab Samosir dianggap sahih.
Keputusan PTUN ini mempertebal bangunan legalitas yang sejak awal sudah diklaim pemerintah daerah. Bahwa SK itu berdiri di atas prosedur, bukan pada ruang abu-abu.
Pengacara Bilmar : Legalitas Bukan Segalanya.
Meski kalah di PTUN, pengacara dr. Bilmar Delano Sidabutar Aleng Simanjuntak, S.H., menilai persoalan ini belum selesai. Menurutnya, putusan pengadilan memang menguatkan aspek administratif, tetapi substansi keadilan diabaikan.
“Proses pemecatan ini sarat kejanggalan. Hak klien saya untuk membela diri secara layak nyaris tidak pernah diberikan. Pemeriksaan internal yang dilakukan lebih mirip vonis sepihak, bukan investigasi objektif,” tegas Aleng.
Ia menyoroti beberapa hal yang dianggap fatal:
1. Tidak ada pemeriksaan majelis kode etik ASN yang melibatkan unsur independen.
2. Dokumen dan rekaman yang dijadikan dasar dinilai bias karena tidak pernah diverifikasi silang dengan pihak dr. Bilmar.
3. Motif politis dinilai ikut memengaruhi kecepatan SK keluar, tepat setelah ketegangan antara dr. Bilmar dan jajaran Dinas Kesehatan memuncak.
Bagi Aleng, sahnya SK di PTUN tidak serta-merta menutup ruang untuk menyoal dugaan pemalsuan dokumen dan keterangan palsu dalam proses administrasi.
Babak Baru: Ranah Pidana
Langkah hukum dr. Bilmar tidak berhenti di PTUN. Awal Agustus 2025, ia melaporkan Bupati Samosir, Kepala Dinas Kesehatan, dan Kepala BKPSDM ke Polda Sumut dan Polres Samosir. Tuduhannya berat: pemalsuan dokumen serta pencantuman keterangan palsu dalam akta otentik terkait SK pemecatan.
Menurut Aleng, laporan ini bukan bentuk perlawanan emosional, melainkan jalan hukum untuk menguji apakah prosedur administratif yang selama ini diklaim sah benar-benar steril dari praktik manipulasi. “Jika terbukti ada dokumen yang dimanipulasi, maka seluruh legalitas yang selama ini dipertahankan Pemkab bisa runtuh,” ujarnya.
Kasus ini otomatis beranjak dari sekadar sengketa administrasi menuju ranah pidana, yang notabene lebih keras karena menyangkut integritas pejabat daerah.
Cacat Substansi, Sah Formil?
Kondisi ini melahirkan paradoks. Dari sisi formil, SK pemecatan dr. Bilmar telah mengantongi restu BKN, BPASN, hingga PTUN. Namun dari sisi substansi, banyak celah yang dipertanyakan:
Mengapa proses akreditasi yang gagal harus sepenuhnya ditimpakan kepada individu kepala puskesmas?
Benarkah provokasi di grup WhatsApp dapat dijadikan dasar hukuman disiplin tingkat berat?
Apakah penyewaan rumah dinas yang dituduhkan memiliki bukti yang sahih atau hanya berdasarkan pernyataan satu-dua pihak?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting karena hukum administrasi bukan hanya menekankan aspek prosedur, tetapi juga prinsip keadilan dan proporsionalitas.
Di masyarakat Samosir, kasus ini menimbulkan pro-kontra. Sebagian mendukung langkah bupati yang dianggap tegas terhadap ASN yang melanggar. Namun tidak sedikit yang menilai pemecatan ini sebagai langkah politis, mengingat dr. Bilmar dikenal vokal dan sering berseberangan dengan kebijakan pimpinan.
Fakta bahwa kasus ini viral di media sosial, ditambah isu dugaan “mark-up pasal” dalam SK, semakin memanaskan opini publik. Di tengah persiapan Pilkada 2024 lalu, langkah ini juga dipersepsikan sebagian kalangan sebagai strategi untuk meredam lawan politik.
Taruhan Good Governance
Kasus dr. Bilmar Sidabutar kini menjadi tolak ukur seberapa serius Pemkab Samosir menjalankan prinsip good governance. Jika PTUN hanya menilai aspek legal formal, maka ranah pidana akan menjadi ujian berikutnya: apakah benar ada manipulasi, ataukah semua tuduhan hanyalah bentuk perlawanan seorang ASN yang kecewa?
Yang pasti, publik berhak tahu: Apakah pemerintah daerah hanya sekadar melindungi diri dengan legalitas administratif, atau berani membuka semua fakta apa adanya. Sebab dalam demokrasi, legalitas tanpa keadilan hanyalah topeng; dan keadilan tanpa legalitas hanyalah ilusi.
Atas pemberitaan ini, Kru Media ini kembali konfirmasi Kepada Kepala BKP SDM Kabupaten Samosir Rabu,03/09/2025. Manihuruk mengatakan melalui Jaringan WhatsApp “Maaf Pak, saya belum dapat memberikan tanggapan, saya akan berkordinasi dengan Pimpinan, terima kasih” jawabnya melalui pesan singkat. Lagi-lagi Saut Marasi Hutauruk tidak memberikan jawaban sesuai kapasitasnya sebagai Plt Kepala BKP SDM, sehingga Media ini menemui jalan buntu untuk mencari keterangan terkait kasus Pemberhentian dr.Bilmar Delano Sidabutar. Akan tetapi, Media ini akan terus mengejar, Mencari informasi terkait kasus ini dari berbagai Sumber. Agar Publik bisa menilai dan menjadi asupan informasi yang berimbang dan tidak sepihak. Kami sebagai Jurnalis sangat mengharapkan keterangan yang tegas dan jelas dan punya dasar Undang-undang ketika menetapkan suatu keputusan agar tidak menimbulkan Polemik di masyarakat.
(Red.Kaperwil Sumut)