Harianmetropolis com
Samosir ,04/09/2025
Lagi! Polemik pemberhentian eks Kepala Puskesmas Kecamatan Harian, dr. Bilmar Delano Sidabutar, lewat Surat Keputusan Bupati Samosir Nomor 233 Tahun 2024, terus menimbulkan tanda tanya besar. Apa yang sesungguhnya mendasari keputusan tersebut? Apakah birokrasi benar-benar menjalankan prosedur sesuai peraturan, atau justru terjebak dalam kelalaian administratif?
Tim investigasi Media ini bersama tiga jurnalis dari media berbeda menelusuri jejak kasus ini pada Kamis, 4 September 2025. Penelusuran dimulai dari gedung DPRD Samosir hingga Dinas Kesehatan, lalu berlanjut ke Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM). Hasilnya, investigasi ini justru membuka ruang pertanyaan lebih dalam: siapa yang sebenarnya bertanggung jawab?
DPRD: Menyurati DPRD Samosir untuk gelar RDP
Sekitar pukul 10.00 WIB, rombongan jurnalis menyambangi Kantor DPRD Kabupaten Samosir. Mereka diterima oleh Forman Sagala, Kabag Fasilitas DPRD Samosir. Sebelum dipersilakan duduk, salah seorang jurnalis sempat bertanya apakah Forman anggota DPRD, yang langsung dibantah olehnya.
“Saya Gorman Sagala, Kabag Fasilitas (Sekwan) DPRD Samosir,” ujarnya tegas, sambil mempersilakan tamunya bertanya.
Pertanyaan pertama yang dilontarkan wartawan adalah perkembangan surat pengaduan dr. Bilmar yang masuk ke DPRD pada 29 Agustus 2025. Surat tersebut diterima dan ditandatangani atas nama Laura Silalahi.
Selama 45 menit pertemuan, Forman Sagala menegaskan bahwa DPRD masih dalam tahap pra-rapat koordinasi. “Belum ditentukan kapan waktunya. Dari pra-rapat inilah nanti diputuskan apakah mengarah ke RDP (Rapat Dengar Pendapat) atau tidak,” ungkapnya.
Jawaban itu terkesan normatif. Faktanya, hampir sebulan surat pengaduan berlalu, DPRD belum juga menunjukkan sikap tegas. Publik pun bisa menilai, apakah lembaga legislatif ini serius mengawal persoalan ASN yang diduga menjadi korban ketidakadilan birokrasi, atau sekadar menggantung kasus hingga kehilangan momentum.
Dinas Kesehatan: Mengelak dan Mengarahkan ke BKP-SDM
Usai dari DPRD, jurnalis bergerak ke Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir. Kepala Dinas, dr. Lina Hutapea, sempat ditemui, namun reaksinya mengejutkan.
Alih-alih memberi keterangan, Lina justru buru-buru meninggalkan wartawan dengan alasan dipanggil inspektorat. “Kalau soal itu (kasus dr. Bilmar), konfirmasi saja ke BKP-SDM,” katanya sambil tergesa-gesa menuju pintu keluar.
Sikap mengelak seorang pejabat teknis di garda depan kesehatan publik jelas memunculkan pertanyaan baru. Jika Dinas Kesehatan sendiri tidak mau terbuka, bagaimana publik bisa percaya bahwa proses administrasi telah berjalan sesuai aturan?
BKP-SDM: Jawaban Hati-Hati, tapi Tidak Menjawab Substansi
Salah seorang jurnalis kemudian menghubungi Kepala BKP-SDM Samosir, Saut Marasi Manihuruk, melalui pesan WhatsApp. Dalam percakapan itu, jurnalis Frish H. Silaban melayangkan surat permintaan konfirmasi resmi melalui Jaringan WhatsApp dengan tujuh pertanyaan kunci. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mencakup dasar pertimbangan usulan pemberhentian, proses pemeriksaan internal, tuduhan soal aset Puskesmas, hingga kesesuaian prosedur dengan UU ASN dan PP Disiplin ASN.
Jawaban Saut Manihuruk akhirnya tiba pada sore hari. Namun, alih-alih memberi klarifikasi substantif, ia justru menekankan tiga hal:
1. Pertanyaan diarahkan ke Pemkab karena pemeriksaan dilakukan oleh Tim Penegak Disiplin (TPD) lintas perangkat daerah.
2. Keterbatasan kewenangan BKP-SDM, yang disebut harus selalu berkoordinasi dengan atasan langsung.
3. Apresiasi terhadap pers, dengan pesan agar pemberitaan tidak jatuh pada “framing” atau “jurnalistik prasangka.”
Di satu sisi, jawaban itu diplomatis dan rapi secara bahasa. Namun di sisi lain, substansi pertanyaan tidak disentuh. Publik tetap tidak tahu: apakah benar ada aset Puskesmas yang hilang? Jika tidak ada, mengapa dr. Bilmar tetap diberhentikan?
Kelalaian Birokrasi atau Permainan Kekuasaan?
Dari rangkaian investigasi ini, tampak jelas bahwa proses birokrasi di Samosir terkait pemberhentian dr. Bilmar menyimpan banyak celah. DPRD lamban, Dinas Kesehatan mengelak, BKP-SDM berhati-hati, dan publik dibiarkan tanpa jawaban terang.
Padahal, laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK RI Tahun 2023 secara tegas menyatakan bahwa tidak ada aset Puskesmas Harian yang hilang. Jika tuduhan kehilangan aset menjadi alasan pemberhentian, maka dasar hukumnya bisa dipertanyakan.
Pertanyaan kritis pun mencuat:
Mengapa Bupati berani menerbitkan SK pemberhentian jika data faktual BPK tidak mendukung tuduhan tersebut?
Apakah SK itu lahir dari kajian hukum dan prosedur yang benar, atau sekadar tekanan politik birokrasi?
Dan yang paling penting, bagaimana nasib hak-hak ASN dr. Bilmar jika terbukti ia menjadi korban kelalaian administrasi?
Ujian Transparansi Pemerintahan
Kasus ini bukan sekadar urusan satu ASN yang diberhentikan. Lebih dari itu, ini adalah ujian transparansi pemerintahan di Kabupaten Samosir.
Jika birokrasi gagal memberi jawaban jelas, publik akan menilai ada upaya dugaan menutup-nutupi. Jika DPRD tidak segera bertindak, fungsi pengawasan legislasi bisa dianggap mandul. Jika Dinas Kesehatan terus menghindar, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan.
Di atas semua itu, kasus dr. Bilmar mengingatkan bahwa hukum administrasi bukan sekadar soal tanda tangan di atas kertas, melainkan tentang keadilan substantif. ASN yang diberhentikan tanpa dasar jelas bukan hanya dirugikan secara pribadi, tapi juga mencederai wajah birokrasi daerah.
Menunggu Keberanian
Kini bola ada di tangan DPRD dan Pemkab Samosir. Apakah berani membuka fakta di hadapan publik, atau memilih bersembunyi di balik rapat-rapat tertutup?
Bagi publik Samosir, kejelasan kasus ini bukan hanya soal satu dokter, tapi soal wibawa hukum dan pemerintahan daerah. Karena tanpa keberanian menghadapi kebenaran, semua keputusan hanya akan sah di atas kertas, tetapi cacat di lapangan. (Red)